MAKALAH
ke-PGRI-an
EKSITENSI PGRI
PADA ERA OTONOMI DAERAH
Oleh :
Riski Amiyanto
JURUSAN
PENDIDIKAN MATEMATIKA
SEKOLAH TINGGI
KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
PERSATUAN GURU
REPUBLIK INDONESIA
( STKIP PGRI )
SUMENEP
2013
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis
panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat, rahmat, dan
hidayah-nya, penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “eksistensi PGRI
pada era Otonomi daerah” ini untuk memenuhi tugas mata kuliah Ke-PGRI-an.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu
penyusunan makalah ini sehingga dapat selesai pada waktunya.
Makalah ini telah disusun semaksimal mungkin, apabila terdapat kesalahan dalam
penulisan, penulis mohon maaf. Demikian dari penulis semoga makalah ini dapat
bermanfaat bagi pembaca, kritik dan saran kami harapkan agar dapat meningkatkan
kualitas pembuatan makalah berikutnya, terima kasih.
PENDAHULUAN
A. LATAR
BELAKANG
PGRI adalah organisasi perjuangan,
organisasi profesi dan organisasi ketenagakerjaan yang berfokus pada bidang
keguruan. PGRI sebagai tempat berhimpunnya segenap guru dan tenaga kependidikan
lainnya merupakan organisasi perjuangan, organisasi profesi, dan organisasi
ketenagakerjaan yang berdasarkan Pancasila, bersifat independen, dan non
politik praktis, secara aktif menjaga, memelihara, mempertahankan, dan
meningkatkan persatuan dan kesatuan bangsa yang dijiwai semangat kekeluargaan,
kesetiakawanan sosial yang kokoh serta sejahtera lahir batin, dan
kesetiakawanan organisasi baik nasional maupun internasional.
Semangat kebangsaan Indonesia telah lama
tumbuh di kalangan guru-guru bangsa Indonesia. Organisasi perjuangan huru-guru
pribumi pada zaman Belanda berdiri tahun 1912 dengan nama Persatuan Guru Hindia
Belanda (PGHB).
Organisasi ini bersifat unitaristik yang
anggotanya terdiri dari para Guru Bantu, Guru Desa, Kepala Sekolah, dan Penilik
Sekolah. Tahun 1932 nama Persatuan Guru Hindia Belanda (PGHB) diubah menjadi
Persatuan Guru Indonesia (PGI). Perubahan ini mengejutkan pemerintah Belanda,
karena kata “Indonesia” yang mencerminkan semangat kebangsaan sangat tidak
disenangi oleh Belanda. Sebaliknya, kata “Indonesia” ini sangat didambakan oleh
guru dan bangsa Indonesia. Pada zaman pendudukan Jepang segala organisasi
dilarang, sekolah ditutup, Persatuan Guru Indonesia (PGI) tidak dapat lagi
melakukan aktivitas.
Dan
untuk mewujudkan kestabilan dalam pelaksanan dan keberadaan PGRI dalam era
otonomi daerah PGRI harus mampu untuk terus mengikuti dan menyikapi berbagai
permasalahan dan tantangannya sesuai dengan tuntutan otonomi daerah.
B. TUJUAN
Untuk
lebih mempermudah pembaca mempelajari, menemukan dan mengetahui hal-hal yang
ada di PGRI. Dan selain itu tujuan yang sangat penting adalah untuk
menyelesaikan tugas ke-PGRI-an
PEMBAHASAN
PGRI dan Dampak
Otonomi Daerah Terhadap Pendidikan Di Indonesia
a.
PGRI
Pada
tahun 1912 telah berdiri PGHB (persatuan Guru hindia belanda). Sejalan dengan
keadaan itu maka disamping PGHB berkembang pula organisasi guru bercorak
keagamaan, kebangsaan, dan yang lainnya.
Lalu
pada jaman pendudukan jepang di Indonesia, praktis tidak ada satu pun
organisasi masyarakat yang tampil kecuali organisasi bentukan Jepang. Segala
organisasi dilarang, sekolah ditutup, Persatuan Guru Indonesia (PGI) tidak
dapat lagi melakukan aktivitas. Pada tanggal 25 – 25 November 1945 dibukalah
Kongres PGRI ke-1 di Surakarta. Tepanya di Gedung somaharsana (pasar pon), van
deventer school (sekarang SMP negri 3 Surakarta). Pada konngres itu disepakati
berdirinya PGRI sebagai wahana persatuan dan kesatuan segenap guru di seluruh
Indonesia.
Perjuangan
organisasi PGRI pada periode 1945-1950 menitik beratkan pada perjuangan
menegakkan dan menyelamatkan kemerdekaan sebagaimana kondisi umumnya Usaha
pengisian pendidikan mulai dilaksanakan dengan bernafaskan peralihan dari
pendidikan yang bersifat kolonial ke pendidikan nasional. Salah satu
tuntutan masyarakat untuk mereformasi tatanan kenegaraan adalah otonomi daerah.
Tuntutan ini menjadi urgen dan mendesak ketika sebagian anak bangsa sudah mulai
tercerahkan dan sadar setelah ‘dikibuli’ rezim orde baru yang menerapkan
pemerintahan sentralistik-diskriminatif. Selama lebih tiga dasa warsa
masyarakat dipangkas hak-haknya, bahkan nilai-nilai kemanusiaan-pun harus
diseragamkan sedemikian rupa dengan dalih 'persatuan dan kesatuan'. Pasca
pemerintahan orde baru, pemerintah mulai berusaha mengakomodasi tuntutan
tersebut yang kemudian dikristalisasikan dalam UU No.22 tahun 1999 tentang
pemerintahan daerah, dan UU No.25 tahun 1999 tentang perimbangan keuangan
antara pusat dan daerah.
Sesuai
dengan pasal 11 ayat (2) terdapat sebelas bidang yang wajib dilaksanakan oleh
daerah kabupaten dan daerah kota, yaitu; pekerjaan umum, kesehatan, pendidikan
dan kebudayaan, pertanian, pertambangan, industri dan perdagangan, penanaman
modal, lingkungan hidup, pertahanan, koperasi dan tenaga kerja.
Dalam
tataran konsep, otonomisasi terhadap sebelas bidang tersebut dirasa cukup bagus
dan dapat memenuhi tuntutan masyarakat, tetapi langkah operasionalisasinya akan
menimbulkan permasalahan-permasalahan baru yang perlu dipertimbangkan lebih
mendalam, terutama otonomi di bidang pendidikan.
Dengan
menyimak isi UU No.22 tahun 1999 tentang pemerintahan daerah dan UU No. 25
tahun 1999 tentang perimbangan keuangan antara pemerintahan pusat dan daerah,
dapat disimpulkan bahwa fokus pelaksanaan otonomi daerah adalah di daerah
kabupaten dan daerah kota. Untuk itu sebagian besar sumber pembiayaan nasional
akan dilimpahkan lebih banyak ke daerah sesuai dengan potensi dan kemampuan
perekonomian daerah yang berbeda-beda, sementara kewenangan pemerintah terbatas
dengan dukungan sumber pembiayaan yang terbatas pula. Sebagai konsekuensi-nya,
maka berdasarkan pasal 7 ayat (2), Pemerintah, dalam hal ini Departemen
pendidikan Nasional, hanya menetapkan kebijakan perencanaan dan pembangunan
nasional secara makro, standarisasi, kontrol kualitas di bidang pendidikan
termasuk kebudayaan yang bersifat nasional. Dengan demikian, dari segi
kewenangan maupun sumber pembiayaan di bidang pendidikan dan kebudayaan, Daerah
kabupaten dan daerah kota akan memegang peranan penting terutama dalam
pelaksanaannya.
b.
Dampak
Otonomi Daerah Terhadap Pendidikan Di Indonesia
Sebagai
dampak otonomisasi daerah terutama pada bidang pendidikan di atas, terdapat
beberapa permasalahan yang perlu dipertimbangkan lebih mendalam, yaitu yang
terkait dengan; kepentingan nasional, mutu pendidikan, efisiensi pengelolaan,
pemerataan, peran serta masyarakat, dan akuntabilitas.
Pertama,
Dalam skala nasional pemerintah mempunyai beberapa kepentingan antara lain
sejalan dengan isu wajib belajar (Wajar) dan sebagai upaya mewujudkan salah
satu tujuan nasional "mencerdaskan kehidupan bangsa" (Pembukaan UUD
1945), demikian juga seperti yang tertuang dalam pasal 31 ayat 1 UUD 1945
tentang hak mendapatkan pengajaran. Persoalannya, bagaimana melalui otonomi
daerah, yang besarnya potensi dan sumber pembiayaan berbeda, dapat menjamin
agar tiap-tiap negara memperoleh hak pengajaran. atau bagaimana dengan otonomi
daerah tersebut dapat menjamin bahwa Wajib Belajar pendidikan dasar sembilan
tahun dapat dituntaskan di semua daerah kabupaten/kota dalam waktu yang relatif
sama.
Isu
lainnya adalah pembentukan "national character building", bahwa
otonomi daerah dilaksanakan dalam kerangka negara kesatuan Republik Indonesia,
yang diharapkan warga negara tetap mengetahui hak dan kewajibannya serta
memiliki jiwa patriotisme, religius, cinta tanah air, dan seterusnya.
Persoalannya, bagaimana pendidikan dapat mengamankan program pendidikan dengan
memberikan peluang kreatifitas dalam keragaman daerah, tetapi semuanya mengarah
secara sentripetal ke kepentingan nasional melalui muatan yang sama dalam upaya
ke arah pembentukan "national character building" tersebut.
Kedua,
peningkatan mutu. Bahwa salah satu dasar pemikiran yang melandasi lahirnya
undang-undang pemerintah daerah 1999 adalah untuk menghadapi tantangan
persaingan global. dengan demikian mutu pendidikan diharapkan tidak hanya
memenuhi standar nasional tetapi juga perlu memenuhi standar internasional.
Persoalannya, bahwa otonomi pendidikan sepenuhnya dilakukan oleh Daerah
Kabupaten/Kota yang kualitas sumberdaya, prasarana, dan kemampuan pembiayaannya
bisa sangat berbeda, dalam konteks ini pendidikan di satu sisi berhasil
meningkatkan aspirasi pendidikan masyarakat, namun di sisi lain mutu pendidikan
merosot karena sumber dana untuk mendukungnya terbatas.
Ketiga,
efisiensi pengelolaan. bahwa otonomi daerah diharapkan dapat meningkatkan
efisiensi pengelolaan dan efisiensi dalam pengalokasian anggaran. Hal ini bisa
terjadi sebaliknya. pengalaman di beberapa negara menunjukkan bahwa dengan
otonomi daerah biaya operasional pendidikan justru meningkat, hal ini
disebabkan antara lain karena bertambahnya struktur organisasi daerah sehingga
memerlukan personil yang lebih besar, terlebih lagi jika ditambah dengan
kualitas personil yang tidak profesional. Indonesia yang selama 32 tahun
menganut sistem pengelolaan yang sangat sentralistik akan mempunyai problem
efisiensi pengelolaan seperti tersebut di atas.
Keempat,
pemerataan. Pelaksanaan otonomi pendidikan diharapkan dapat meningkatkan
aspirasi masyarakat yang diperkirakan juga akan meningkatnya pemerataan
memperoleh kesempatan pendidikan. tetapi ini akan dibayar mahal dengan semakin
tingginya jarak antar daerah dalam pemerataan akan fasilitas pendidikan yang
akhirnya akan mendorong meningkatnya kepincangan dalam mutu hasil pendidikan.
tanpa intervensi pengelolaan, anggota masyarakat dari daerah kabupaten/kota
yang kaya dengan jumlah penduduk sedikit akan dapat menikmati fasilitas
pendidikan yang jauh lebih baik dari anggota masyarakat dari daerah yang
miskin.
Dan
apabila kesempatan pendidikan ini juga mempengaruhi kesempatan untuk memperoleh
penghasilan, maka dalam jangka panjang akan berpotensi meningkatnya jurang
kesenjangan ekonomi antar daerah.
Kelima,
peran serta masyarakat. Bahwa salah satu tujuan UU Pemerintah Daerah adalah
untuk memberdayakan masyarakat, menumbuhkan prakarsa dan kreatifitas,
meningkatkan peran serta masyarakat, dan seterusnya. Peran serta masyarakat
dalam pendidikan dapat berupa perorangan, kelompok atau lembaga industri. Dalam
kerangka otonomi daerah, kecenderungan peran serta tersebut menjadi terbatas
pada lingkup daerah kabupaten/kota yang bersangkutan, dengan demikian pada
masyarakat yang kaya, penyelenggaraan pendidikan di daerah didukung selain dari
peran serta orang tua juga oleh masyarakat sehingga memperoleh sumber dana yang
relatif baik, dan sebaliknya untuk daerah yang miskin. sebab itu tanpa
intervensi kebijakan nasional yang dapat menerapkan subsidi silang, peran serta
masyarakat dalam sistem desentralisasi akan dapat menjurus memperlebar jurang
ketimpangan pemerataan fasilitas pendidikan, yang akhirnya juga akan memperlebar
jurang kesenjangan ekonomi antar daerah.
Keenam,
akuntabilitas. Bahwa melalui otonomi pengambilan keputusan yang menyangkut
pelaksanaan layanan jasa pendidikan akan semakin mendekati masyarakat yang
dilayaninya (klien) sehingga akuntabilitas layanan tersebut bergeser dari yang
lebih berorientasi kepada kepentingan pemerintah pusat kepada akuntabilitas
yang lebih berorientasi kepada kepentingan masyarakat. Ini menuntut lebih besar
partisipasi masyarakat dan orang tua dalam pengambilan keputusan tentang
pelaksanaan pendidikan di daerah.
Keenam
permasalahan tersebut perlu dipertimbangkan lebih mendalam. Paling tidak,
sebelum benar-benar otonomisasi itu dijalankan dan sebelas bidang di atas
diserahkan sepenuhnya pada daerah, maka perlu dilakukan pengkondisian lebih
dulu dengan memperhatikan sumber dana dan sumber daya yang dimiliki
masing-masing daerah. Setelah dianggap mampu menjalankan otonomi, maka
kebijakan tersebut dapat diberlakukan sepenuhnya.
PGRI Pada Era
Otonomi Daerah
Pada
era otonomi daerah PGRI mengalami beberapa kendala yang harus disikapi dan oleh
karena itu pada era otonomi daerah PGRI harus terus mengikuti dan menyikapi
berbagai permasalahan dan tantangannya sesuai dengan tuntutan otonomi daerah.
Perkembangan yang harus direspon oleh PGRI dalam pelaksanaan otonomi daerah
adalah melakukan adaptasi dalam aspek struktur, kultur, substansi, dan
sumberdaya manusia.
Dengan
begitu PGRI akan bisa mengikuti dan menyikapi berbagai permasalahan dan
tantangan yang ada dalam otonomi daerah
Dalam aspek struktur harus dilakukan
penyesuaian struktur organisasi yang sesuai dengan semangat otonomi daerah
tanpa kehilangan jati dirinya. PGRI harus mampu menjadi pelopor dan teladan
dalam mengembangkan jiwa, semangat dan nilai-nilai otonomi melalui kinerja
organisasi. Kegiatan organisasi perlu lrbih banyak dilakukan ditingkat daerah,
sementara pengurus besar akan lebih banyak berkipra di forum internasional dan
dalam penetapan standar-standar nasional.Dalam aspek kultur, dinamika
organisasi harus lebih demokaratis dan terbuka, baik kedalam maupun keluar.
Dalam
aspek substansi, program-progrma kerja PGRI di usahakan untuk mampu
mengakomodasi beragama aspirasi para anggotanya sesuai dengan kondisi daerah
masing-masing. dan dalam aspek sumber daya manusia adalah, PGRI harus mampu
memberikan sumbangan terhadap pelaksanaan otonomi daerah yang tetap berada
dalam kerangka persatuan dan kesatuan bangsa. Seperti diketahui, dewasa ini
pendidikan nasional mengalami penyesuaian agar sejalan dengat semangat otonomi
daerah. Kualitas sumberdaya manusia PGRI merupakan modal utama dalam mewujudkan
kinerja organisasi pada era otonomi daerah.
Maka
dari itu dalam menghadapi era otonomi daerah, PGRI dalam perencanaan dan
pengadaan (rekrutmen) calon tenaga pendidik (Diktendik), kususnya guru, harus
di dasarkan pada hasil kebutuhan guru per mata pelajaran, per jenis satuan
pendidikan, per kecamatan. Perkabupaten, perkota madya, perprovinsi, dan
kebutuhan kualitatif dan kuantitatif guru secara nasional. Perencanaan
perencaan guru berbagai kebutuhan di kembangkan dan dilaksanakan secara
konsisten.
Dalam
era otonomi daerah, pemerintah juga sangat harus berperan terhadap pengadaan
guru di era otonomi daerah. Pemerintah melakukan upaya analisis dan pemetaan
kebutuhan guru jangka panjang, menengah dan pendek mencakup : jumlah kebutuhan
dan kekurangan guru per mata pelajaran pada semua jenis jenjang pendidikan
untuk 25 tahun mendatang. Kulifikasi pendidikan guru kondisi guru, kondisi guru
menurut umur dan latar belakang pendidikan. Dari hasil analisis yang dilakukan
menjadi sangat penting dan sentral karena dengan cara tersebut maka pemerintaha
akan mengetahui jumlah guru yang ada, kebutuhan, kekurangan pada guru yang ada
di Indonesia ini. Sebagai masukan untuk perencanaan kedepan dan sebagai masukan
untuk menyesuaikan pengadaan dan pembinaan calon guru.
Maka
dari itu untuk mengawal era otonomi daerah dalam rekrutmen dan seleksi guru
harus benar-benar dilaksanakan pada kebutuhan sesuai dengan hasil analisis.
Operasionalnya, rekrutmen dan seleksi untuk pengangkatan dan penempatan guru di
dasarkan pada persyaratan administrasi umum dan persyaratan khusus. Selain itu
seleksi calon guru juga harus mempertimbangkan factor-faktor minat dan bakat,
persepsi tentang profesi guru, kepribadian. Penyelenggara calon seleksi guru
juga perlu menjamin proses rekrutmen dan selseksi yang transparan dan
akuntabel.
Penyelenggara
calon selseksi guru ini juga harus bersifat netral, artinya tidak
membeda-bedakan semua calon guru,tidak memandang saudara atau teman dekat.
Dalam mengahadapi era otonomi daerah, dalam proses penyeleksian calon guru
harus benar-benar di lakukan dengan baik agar pada era otonomi daerah ini
pendidikan bisa menjadi jalan keluar terhadap permasalahan yang ada, bukan
malah menjadi pengekang terhadap segala kreatifitas peserta didik. Hal ini
karena, dalam era otonomi daerah para peserta didik di harapkan mampu untuk
menggali dan mengembangkan segala potensi yang dimiliki daerah masing-masing.
Sebenarnya
dalam pelaksanaan kemajuan pendidian akan terwujud apabila seorang guru sebagai
pemangku utama pendidikan sadar akan tugas dan kewajibannya sebagai pendidik.
Dan proses penyeleksian calon guru tidak di jadikan ladang bisnis bagi
pemerintah.
Dengan
adaptasi organisasi dalam konteks otonomi daerah, PGRI di daerah harus memiliki
kualitas keberdayaan, kemandirian, kreativitas, dan wawasan yang unggul dalam
mewujudkan kinerjanya dan program-program kerja yang terfokus pada amanat
anggota dan sesuai dengan kondisi daerah perlu dikembangkan melalui berbagai
forum organisasi.
Forum
tersebut dapat dioptimalkan untuk mengembangkan berbagai gagasan dan program
yang lebih bermakna. Pengurus PGRI perlu pula melakukan sosialisasi tentang
berbagai programnya pada era otonomi daerah terhadap para anggota dan masyarakat
pada umumnya. Pengurus PGRI sampai pada jajaran ranting pada satuan pendidikan
harus memformulasikan dengan tepat.
Daftar pustaka
-
Musaheri, 2011, ke-PGRI-an, Yogyakarta,
Pustaka pelajar